27 12 2011
GMKI

Foto

Kegiatan Anak-anak GMKI Cabang Gunungsitoli, Nias





Teologi Kerajaan

27 12 2011

Teologi Kerajaan adalah sebuah bentuk teologi yang menyoroti posisi seorang raja dalam hubungan dengan ketaatan terhadap Tuhan.[2] Konsep ini secara khusus berkembang dalam kajian terhadap Alkitab, khususnya Perjanjian Lama.[2]

Kedudukan raja di Asia timur kuno seringkali diposisikan sebagai sosok yang harus disembah.[3] Dalam teologi kedudukan tersebut merupakan persoalan utama dalam teologi kerajaan.[2] Dalam tradisi Israel, teologi kerajaan muncul sehubungan dengan fakta bangsa Israel adalah bangsa teokratis yang diperintah oleh seorang raja.[4] Maka, teologi kerajaan menekankan peran raja sebagai pemegang mandat Allah atas umat.[2] Seperti Allah menghendaki suatu pemerintahan yang adil.[5]

Penantian seorang raja yang adil mengarah pada pengharapan mesianik yang memainkan peran besar dalam hal kepercayaan umat para nabi pada zaman raja-raja.[2] Sejarah tersebut dimulai kurang lebih lima abad dari pergumulan konteks para nabi di Kanaan.[2] Dimulai dari pengangkatan Saul pada tahun 1020 SM dan diakhiri dengan kematian Yoyakhin pada masa pembuangan di Babel pada tahun 550 SM.[2]

Melalui kehadiran raja dan kerajaan kehidupanan umat akan berhubungan dengan kultus, solidaritas keumatan dan bangsa, dan masalah-masalah sosial yang dipengaruhi kebudayaan.[6] Dampak pendirian Kerajaan dapat dilihat dari sisi positif yang membangun, dan sisi negatif yang menimbulkan kemerosotan terhadap totalitas kehidupan umat.[6] Dampak tersebut tergantung pada ketaatan sang raja terhadap Yahweh yang mengangkat dan meneguhkan raja lewat orang pilihannya maupun rakyat.[3][6]

Terminologi Raja

Kata Raja dalam bahasa Ibrani מֶלֶךְ artinya raja, menjadi raja, memerintah, atau menjadi ratu (lihat ratu Sebah dari Persia dalam 1 Raja-Raja 10, Mazmur 45:9, dan Yeremia 7:18). Bentuk kata benda feminim kata ‘melek’ berubah menjadi ‘malak’ dan diterjemahkan sebagai ‘kerajaan’. Sementara itu, bentuk kata benda maskulin dari kata ‘melek’ berarti ‘raja’. Kata melek dipakai secara meluas dalam dunia semetik barat, seperyi bahasa Ugarit, Moab, Mesha, dan Akkadia. Pada awalnya, kata raja ditemui dalam budaya Mesir, Mesopotamia, Asyur, Babilonia, Kanaan, Palestina, Edom, Moab, dll.

Dalam Targum kata raja seperti dalam Keluaran 1: 8, dan Keluaran 2: 37, disebut raja di atas segala raja. Di Persia kata ‘melek’ diterjemahkan raja atau kerajaan. Di Akadian kata malak merupakan penasehat yang mengangkat raja. Kata benda “raja”, muncul dari akar kata malak yang berkaitan erat dengan monarki pemerintahan yakni kota, tanah, teritorial. Formulasi kerajaan pertama dalam kitab suci ditemukan dalam Habakuk 9: 2, dan 1 Samuel 8: 11-17. Maka, Metaphorik dari kata ‘melek’ juga digunakan bagi Allah Israel. Selanjutnya diadopsi oleh Mesopotamia, Mesir, Syria, misalnya 2 Samuel 3: 21 dan Nehemia 2: 3. Dengan demikian, penggunaan kata raja dalam Perjanjian Lama maupun dalam budaya sekitar Kanaan merupakan sebuah totalitas pemerintahan kerajaan seyogyanya imam merangkap raja. Kerajaan berkaitan erat dengan raja dan sistem pemerintahan.

Selanjutnya kata benda ‘malak’ dalam Mikha 5: 1 dan Yesaya 14: 5, secara negatif mengacu pada pemerintahan monarki. Walaupun tidak ada konteks spesifik yang menunjukkan makna negatif terhadap kata malak. Maka, dalam kebudayaan dunia pemerintahan saat itu kata melek diartikan sebagai pemerintahan sebagai seorang raja, menjadi raja, dan menyebabkan pemerintahan. Dalam kebudayaan Asia Timur kuno kata kerja malak berarti (raja) memberi nasihat, sedangkan bentuk kata kerja malak mengarah pada kerajaan Yahweh.

 

Konsep Raja Dan Kerajaan Dalam Budaya Timur Kuno

Perhatian khusus Asia Timur kuno terhadap keadilan sosial adalah latar belakang posisi raja.[10] Bangsa-bangsa di Asia Timur kuno mempunyai kepercayaan bahwa masalah keadilan dan masalah sosial mempunyai hubungan yang erat dengan ilah-ilah misalnya, di Mesopotamia dikenal dewa Utala yang dewa matahari dan keadilan.[10] Selain itu, dewa Nase yang peka terhadap penindasan.[10] Di Mesir, dewa Maad sebagai dewa peraturan dan keadilan.[10] Dewa ini mendelegasikan tugas pada Firaun yang disebut penjelmaan dewa Maad.[10] Oleh karena itu, raja mempunyai kuasa untuk menerapkan undang-undang kepada rakyat termasuk peraturan yang berhubungan dengan keadilan sosial.[10] Selain Firaun, raja Hamurabbi dianggap sebagai jelmaan dewa Shamash yang menerima kuasa mutlak untuk menetapkan dan menerapkan undang-undang.[10]

Raja adalah jelmaan dewa, maka raja mempunyai kuasa mutlak atas penetapan dan pelaksanaan undang-undang.[10] Raja juga disebut sebagai anak Allah secara biologis.[10] Raja tidak berada di bawah hukum, melainkan berada di atas hukum.[10] Bahkan para pembantu raja pun tidak terjangkau oleh hukum.[10] Hukum-hukum hanya ditujukan pada rakyat jelata.[10] Dalam tradisi Yerusalem, jabatan raja dikombinasikan dengan jabatan imam.[10] Menurut tradisi Yebus raja dianggap bukan hanya pemimpin politis melainkan juga pemimpin kultus.[10]

Bukti-Bukti Arkeologi

Beberapa penemuan para Arkeolog yang menguatkan keterangan Alkitab, misalnya penemuan benteng kecil di kota Gibeah ibukota kerajaan Saul, benteng pertahanan Salomo di Megido dan sisa-sisa bangunan di Ezion Geber, dan di Laut Merah.[2] Selain itu, pelabuhan, tambang, galangan, kapal dagang Salomo di Ezion Geber, bait Allah di Syria dan Kanaan dan perabotan kerajaan Salomo seperti yang diuraikan dalam 1 Raja-raja. Selain itu, ditemukan tulisan-tulisan kuno tentang sejarah kerajaan Israel dalam hubungan bilateral saat itu, seperti di Mesir, Asyur dan Babel (2 Raja-raja 1: 1, 3:4).[2] Selanjutnya, batu prasasti di Moab yang didirikan oleh Raja Mesha.[2] [2] Sementara di Palestina ditemukan dua prasasti yang tertulis dalam bahasa Ibrani, yaitu prasasti Siloam yang ditulis oleh para penggali saluran air pada zaman raja Hizkia (2 Raja-raja 20: 20).[2] dan surat-surat dari Lakhis yang merupakan korespondensi antara para perwira tentara Yehuda.[2] Ketika bangsa Israel mempertahankan kota Lakhis dan Yerusalem dari serangan kerajaan Babel.[2] Selanjutnya penelitian arkeologi bekas reruntuhan kota Samaria kuno yang dibangun oleh raja Omri ditemukan beberapa hiasan gading.[2] Tetapi perhiasan gading itu diduga berasal dari istana raja Ahab (pengganti raja Omri pada abad 9 SM (1 Raja-raja 22: 39).[2]

Konsep Raja Dan Kerajaan

Kebangkitan sejarah Israel merupakan latar pembentukan monarki Israel.[13] Kedaulatan Raja Daud merupakan titik awal dari periode kedua dalam perkembangan Yahwisme, sejak kerajaan Saul yang terlalu singkat.[13] Maka pemerintahan Raja Daud disebut masa transisi.[13] Perubahan yang secara mutlak dilakukan oleh raja Daud berdasarkan sifat-sifat pribadinya sebagai seorang pemimpin.[10] Status Raja Daud lebih tinggi dibanding seorang hakim.[10]

Selanjutnya raja Salomo, keadaan berubah secara radikal.[4] Bangsa Israel yang sebelumnya memiliki sistem semi nomadis atau pertanian menjadi kerajaan modern yang sangat kuat.[4] Banyak kota-kota dan benteng dibangun dan Yerusalem sebagai ibukota (1 Raja-raja 9: 15).[4] Kerajaan diperlengkapi perangkat kerajaan seperti pejabat istana, tentara dengan kereta kuda, dan pasukan sewaan.[10] Dalam aspek materi, pembangunan tambang emas, sistem pajak, industri dan perdagangan yang berkembang luas.[10] Dalam aspek seni, kesenian dan ilmu pengetahuan berkembang dengan cepat.[10]

Pengaruh perkembangan atas agama Israel sangat revolusioner.[4] Israel mempelajari kepustakaan mazhab hikmat, sehingga mereka menjadi sadar akan unsur kemanusiaan universal dan perbendaharaan pemikiran manusia.[10] Berdasarkan perkembangan itu, Yahweh dipandang sebagai Tuhan seluruh umat manusia.[10] Sepert teori Sumber Y Yahwis menggambarkan Yahweh sebagai Allah sejak awal kejadian atau penciptaan.[10] Konsep penciptaan kemudian disesuaikan dari teologi El Elyon di Yebus dan dimasukkan ke dalam struktur keimanan Yahwis, sehingga disadari bahwa semesta alam bergantung pada Yahweh.[10]

Dengan demikian, kerajaan Salomo berkembang sejajar dengan perkembangan negara.[10] Kerajaan dimutlakkan dengan berbagai sumber tradisi dan upacara di Kanaan, Mesir, dan Fenisia, bahkan mendapat warna keagamaan seperti tradisi-tradisi Yebus.[10] Bangsa Israel menekankan beradaan Yahwe sebagai Allah berbeda di negara tetangga yang mengangap raja sebagai oknum ilahi seperti di Mesir dan di Babel, raja mewakili ilah di Babel.[14] Bangsa Israel percaya bahwa raja hanya sebagai anak Allah atau hamba agung Yahweh (Mazmur 2: 7 dan 110).[14] Dalam Mazmur 110, penobatan raja berarti imam sejati.[14] Imam menjadi sumber keadilan yang agung yang menyelamatkan kaum tertindas dan kedamaian.[14]

Peranan Raja Dalam Kultus

Peran raja dalam kultus adalah pengantara Yahweh dengan Israel.[10] Raja berperan sebagai wakil Allah dan bangsa dalam mempersembahkan korban (Mazmur 110: 4).[14] Secara prinsip raja dianggap sebaga imam agung dalam negara.[14] Raja bukan hanya membangun bait suci, tetapi juga memimpin upacara-upacara peresmian bait suci termasuk pembacaan syair-syair dan ratapan (1 Raja-raja 8: 5,14,22,54).[10][16]

Peran raja dalam kultus juga tampak pada pemerintahan yang menyiksa seperti sistem rodi.[17] Kesalahan Daud dan Salomo adalah menyebabkan timbulnya faktor disentegrasi kesatuan bangsa atau kerajaan.[17] Perkembangan dimulai dari kerajaan Rehabeam tahun 928 SM yang diwarnai pergantian raja yang silih berganti.[17] Kemudian runtuhnya kerajaan Yehuda pada masa pembuangan terakhir tahun 582 SM (Yeremia 52: 30).[17] Pada masa pembuangan, para nabi menyuarakan pengharapan mesianik agar mengembalikan eksisitensi serta substansi raja dan kerajaan yaitu menghadirkan kasih, keadilan, dan damai sejahtera dalam totalitas hidup dengan dasar ibadah yang benar pada Yahweh.[17]

 

Pandang Kitab Terhadap Raja dan kerajaan

Pandangan Sejarah Deuteronomis Terhadap Raja Dan Kerajaan

Pada Kitab Samuel dan Raja-raja diuraikan tentang pemerintahan Daud dan Salomo.[17] Sesuai sejarah Deuteronomis dalam 2 Samuel 7:11; 23:5 dan teologi Sion dalam Mazmur 132, terdapat sebuah perjanjian kekal antara Tuhan dengan Raja Daud.[17] Tuhan memilih Daud menjadi raja dan membangun kerajaannnya serta memelihara keturunannya.[17] Raja Daud dilihat sebagai anak Allah.[17] Akan tetapi, Raja Daud berada di bawah kuasa Allah dan tindakan yang dilakukan adalah dibawah hukum Allah.[17] Maka, krygma kerajaan Daud adalah ketaatan dan penegakan keadilan dan kebenaran.[17]

Konsep ideologi, Allah sebagai raja, maka Daud sebagai raja berada di sebelah kanan Allah.[17] Seperti sejarah Deuteronomis, berpengharapan akan kehadiran sosok mesianik dalam keselamatan Allah yang holistik atas dunia dan umatNya.[17] Sejarah Deutronomis memaparkan akan totalitas raja, di mana raja turut berperang dalam pendirian kultus, misalnya cerita Daud dan Salomo.[17]

Sementara kerajaan Allah dalam Perjanjian Lama merupakan tema sentral teologi Perjanjian Lama.[17] Di mana konsep raja dan kerajaan bangsa Israel selalu berhubungan erat dengan pemahaman akan kerajaan Allah.[17] Mowinkel melihat bahwa konsep kerajaan Allah terikat dengan kultus dan bentuk-bentuk ritual umat Israel.[18] Menurut N. Lohfink, bahwa konsep kerajaan Allah terikat dengan konsep aplikasi sosial dalam sejarah perjalanan umat Israel.[19] Maka, transformasi pembentukan kerajaan berhubungan erat dengan konsep Yahweh bagi umat.[19] Pembentukan kerajaan tidaklah lepas dari kultus dan mite budaya dunia timur kuno, karena umat bergumul di tengah-tengah budaya tersebut.[19]

Dengan demikian, kultus Israel yang dipengaruhi oleh budaya bangsa lain menerapkan konsep raja dan kerajaan Allah.[17] Di mana umat yang bergumul untuk membangun suatu bentuk kultus dan hukum-hukum yang sesuai dengan keyakinan monoteisme.[17]

 

Pandangan Sejarah Tawarikh Terhadap Raja Dan Kerajaan

Dalam 1 Tawarikh 10-29 dan 2 Tawarikh 1-9 diuraikan sumber-sumber utama perpecahan kerajaan Israel seperti dalam 1 Raja 12- 2 Raja 25.[17] Cerita-cerita dalam bagian ini ditulis berdasarkan kebudayaan saat itu.[17] Sumber yang lain adalah 2 Tawarikah 10-36, menguraikan narasi dari kitab Raja-raja.[17] Namun Tawarikh lebih fokus pada penonjolan Daud dan Salomo sebagai pendiri kultus.[17] Tawarikh menekanan pada perjanjian Daud.[17]

Berbicara tentang kerajaa Daud dalam Tawarikh berarti penunjukan sebuah kerajaan kekal yang didemonstrasikan oleh Allah dalam memberkati Daud sebagai peerwakilan bangsa Israel (Tawarikh 9: 35-10: 14). Selai itu, peran Daud dalam pembangunan kultus atau peribadahan dan pendirian Bait Suci (Tawarikh 22: 2-19; 29: 1-9; 23: 1-32).[20] Dengan kata lain, Raja Daud hanya diijinkan oleh Allah untuk merencanakan pendirian bait suci, sedangkan yang membangunnya adalah anaknya, Salomo.[17]

Pandangan Nabi-Nabi Terhadap Raja Dan Kerajaan

Dalam Yesaya 1-39, Hosea, Amos dan Mikha menguraikan keterangan dalam bidang agama, budaya dan sosial bangsa Israel.[21] Nabi Yesaya lebih terfokus pada hubungannya dengan pelayanan pemerintahan para raja (Yesaya 1:1).[21] Sejarah Deuteronomis dan Tawarikh memaknai kembali keadaan masa lampau bangsa Israel dan hadir sesuai konteksnya.[21]

Sikap kritis yang tampak di dalam kalangan profetis para nabi adalah menyatakan keberatannya terhadap aturan–aturan sosial dan agamani yang ditetapkan Salomo.[21] Tindakan raja Yerobeam I yang menaruh patung lembu di kuil Betel dan simbol Yahweh (1 Raja-raja 12: 28), telah memberi jalan pada gerakan sinkretisme sampai masa sebelum pembuangan.[21] Hal ini mengakibatkan perlawanan raja dan nabi yang setia pada Yahweh.[21]

Dalam masa Nabi-nabi, perkembangan raja dan kerajaan banyak disoroti akibat penyalahgunaan kekuasaan raja yang mengakibatkan kerajaan tercemar, bahkan berdampak negatif terhadap perkembangan kultus dan tindakan praksis sosial umat seperti pembuangan.[22] Maka setelah pembuangan, kerajaan Yahweh dikembalikan melalui tindakan pembebasan dan pemulihan relasi Allah dengan umat, dan rekonsiliasi kerajaan Utara dan Selatan.[22]

Teologi Kerajaan

Konsep malak atau pemerintah di Israel berakar pada sistem politik Kanaan pada abad pertengahan dan abad kemudian.[22] Salah satu asumsi adalah transisi dari masa kepemimpinan kahrismatik militer, Daud kepada dinasti kerajaan dengan administrasi sentral, Salomo.[22] Hal ini menjelaskan bahwa tradisi telah dievaluasi dari masa kerajaan monarkhi Israel berakhir pada periode anarkhi.[23] Sesuai dengan tradisi Deuteronomis dan Tawarikh perkembangan kerajaan Israel merupakan masa yang sakral.[23] Samuel mengakat Saul dan Daud dengan penekanan pada pemilihan Allah dan perjanjian Allah (bdk 1 Samuel 9 and 16).[23] Dalam suku Yehuda menerima legitimasi kudus dari pemilihan Yahweh akan dinasti Daud melalui perjanjian Daud. Oleh karena itu, sangat ditekankan akan ketaatan pada Yahweh (1 Raja-raja 2:4; 3:6; 6:12; 8:25; 1 Samuel 12:14-25; 2 Tawarikh 12:1; 16:7-9; 20:35-37; 21:4-7; 26:16-21).[23]

Allah dalam relasiNya rela menjalin relasi kepada manusia. Allah di dalam keilahianNya tidak dipisahkan dengan umat (1 Tawarikh 13: 9-10).[24] Allah dalam tindakannya yang kudus tidak hanya membuka relasi dalam ciptaanNya, tetapi turut bertindak dan menyertai, misalnya kesuksesan Raja Daud yang diyakini sebagai kuasa Yahweh.[24] Allah di dalam tahtaNya, (1 Tawarikh 17: 20; 2 Tawarikh 2: 5).[24] Sejarah Alkitab dan nabi-nabi melihat bahwa Allah itu nyata dirinya dalam tindakannya (pekerjaannya).[24] Mereka dilihat tidak hanya sebagai inisiator pemberi perintah tentang proses perkembangan sejarah, tetapi nyata dalam pemilihan, pembebasan, penyelamatan.[24]

Monarkhi Israel merupakan fenomena yang kompleks karena tidak hanya berhubungan dengan politik kenegaraan, tetapi juga berhubungan dengan institusi religius.[25] Maka, penekanan substansi raja dan kerajaan perlu fokus pada perkembangan kultus yang terefleksi secara nyata dalam tindakan-tindakan sosial umat baik secara individu, keumatan dan juga solidaritas kebangsaan atau kenegaraan dengan bangsa sekitar.[25] Hal ini merupakan esensi dari pemilihan dan pembentukan raja serta kerajaannya, yang berkaitan erat dengan rencana agung penyelamatan Allah yang bersifat holistik.[25] Orietasi ini digambarkan oleh Eichrodt sebagai efek dari kerajaan tersebut.[25] Adapun efek dari monarkhi Israel adalah pertama Allah yang bertindak lewat raja, kedua adanya perkembangan kehidupan keagamaan.[25] Kekudusan kerajaan sangat penting sebagaimana ditekankan oleh pemikiran Deoteronomis (1 Samuel 8: 7; 12: 12).[23] Dalam Teologi Perjanjian Lama jelas bahwa konsep kerajaan Yahweh adalah sentral dan dasar bagi Perjanjian Lama. Preuss menyatakan bahwa Yahweh disebut sebagai Raja atas segala raja dan juga segala dewa-dewa (Mazmur 47: 3-8).[23] KuasaNya melebihi segala yang ada di bumi (Mzm 103: 19). Dia adalah Raja atas segala bangsa, tetapi Dia juga adalah Raja atas umatNya.[23] Konsep-konsep pengagungan akan Yahweh tidak terlepas dari tindakan kasih setia Tuhan dalam memelihara umatNya yang dilakukan oleh Raja yang dipilih oleh Tuhan.[23]

Referensi

  1. ^ Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta: LAI. 2010. Hal. 483. ISBN 978-979-463-782-1
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Indonesia) Wismoady Wahono. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. Hal.145, 130, 127-143
  3. ^ a b (Indonesia) Robert P. Borrong. Berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1998. Hal.60-61, bdk 44
  4. ^ a b c d e (Indonesia) David L. Baker. Theologia Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008. Hal.50, 68
  5. ^ (Indonesia) Ch.Barth. Theologia Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008. Hal.62-63
  6. ^ a b c (Indonesia) Dianne Bergant, Robert J. Karris. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisus. 2002. Hal.215
  7. ^ (Inggris) G. Johannes Botterweck, dkk, (ed). king. Theological Dictionary of the Old Testament, Vol. IX. Michigan: Grand Rapids. 1998.
  8. ^ (Inggris) William. A. Van Gemeren, (ed). king’. New International Dictionary of Old Testament and Exegesis, Vol III Grand Rapids, Michigan: Zondevan. 1997.
  9. ^ (Inggris) Francis Brown, S.R. Driver, and Charles Briggs. king. A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament. Oxford, England: Clarendon Press. 1906.
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia) Th. C. Vriezen. Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000. Hal. xviii, 193, 190, 191, 243.
  11. ^ Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta: LAI. 2010. Hal. 779. ISBN 978-979-463-782-1
  12. ^ (Indonesia) Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta: LAI. 2010.
  13. ^ a b c (Inggris) Yohanan Aharomi. The Land Of The Bible. London: Burns & Oates. 1926. Hal. 286, 288.
  14. ^ a b c d e f (Inggris) Gerhald von Rad. Theology of The Old Testament. Edinburgh and London: Oliver & Boyd. 1962. Hal. 308-318.
  15. ^ Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta: LAI. 2010. Hal. 669. ISBN 978-979-463-782-1
  16. ^ (Inggris) Cynthia Pearl Maus. The Old Testament and The Fine Arts. New York: Hapher & Brother Publisher. 1954. Hal. 225-230.
  17. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x (Inggris) John Bright. A History of Israel. Blomsbury Street London: SCM Pres LTD. 1960. Hal. 317-319, 437, 162.
  18. ^ (Indonesia) H.h.Rowley. Worship in ancient Israel. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2004. Hal. 153.
  19. ^ a b c (Indonesia) Saut Hamonangan Sirait. Politik Kristen di Indonesia: suatu tinjauan etis. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006. Hal. 235.

20. ^ (Inggris) Paul R. House. Old Testament Theology. Illinois: IVP Downers Grove. 1998. Hal 527-528.

  1. ^ a b c d e f (Indonesia) David F. Hinson. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2004. Hal 140.

22. ^ a b c d (Inggris) Dr. Paul Heinisch. Theology of The Old Testament. St Paul: North Central Publishing Company. 1955. Hal 311-315.

23. ^ a b c d e f g h (Inggris) Horst Dietric Preuss. Old Testament Theology Vol 1. Edinberg: T&T Clark. 1991. Hal 154, 155-159.

24. ^ a b c d e (Inggris) Roy B. Zuck, ed. Eugene H. Merrill, Darrell L. Bock. A Biblical Theology of the Old Testament. Chicago: Moody Press. 1991. Hal 159-160, 161.

^ a b c d e (Inggris) Walter Eichrodt. Theology of the Old Testament Vol 1. Bloomsbury Street, London: SCM Press LTD. 1961. Hal 436, 452-456.





Marthin Luther

27 12 2011

BAB I

PENDAHULUAN

            Salah satu pekerjaan yang selalu di cari oleh setiap insan adalah “Kekuasaan”. Untuk mendapatkannya banyak orang menghalalkan berbagai cara. Hal inilah yang terjadi di dalam GKR (Gereja Katolik Roma) pada abab pertengahan di Eropa Barat. Tujuan dan  fungsi Gereja-Negara tidak jelas bahkan semakin memburuk. Oleh situasi tersebut Luther menerapkan salah satu pokok pikirannya tentang “hubungan gereja dan Negara” yang merupakan salah satu unsur yang terpenting melalui ajarannya “dua kerajaan”. Oleh sebab itu lewat seminar ini kita dapat menemukan beberapa gagasan-gagasan Luther tentang pandangannya terhadap gereja dan Negara.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. I.    Sejarah Singkat Hidup Martin Luther[1]

Martin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 di Eisleben, Saxonia, dan wafat pada tanggal 18 Februari 1546. Ia berasal dari keluarga petani, dan mengaku,”Ich bin ein Bauern Sohn” (Saya anak petani). Ayahnya bernama Hans Luther, dan ibunya Margaret Ziegler.

Pada musim panas 1484, keluarga Luder pindah ke Mansfeld, Magdeburg dan Einsenach. Pada tahun 1501, Luther belajar di Universitas Erfurt dan meraih gelar MA (Magister Artium) pada tahun 1505 melalui Trivum dan Quadrivium. Kemudian sesuai dengan keinginan ayahnya, ia melanjutkan studi dengan memasuki fakultas hukum. Tetapi ketika ia baru memulainya, ia mengalami kejadian yang amat menentukan masa depannya, yaitu ketika ia berjalan di tempat terbuka dalam cuaca yang buruk, ia hampir-hampir tersambar petir; takut akan mati, dan berjanji kepada Santa Anna, bahwa ia akan masuk ke biara.

Dan pada tanggal 17 Juli 1505, ia masuk ke ordo rahib St.Agustinus. Dan pada tanggal 3 April 1507, ia di tahbiskan menjadi imam. Kemudian pada tahun 1512, ia meraih gelar Doktor Teologi.

Pada tahun 1524 ia melepaskan jubah kebiaraanya, dan pada tahun 1525 ia menikah dengan Katherina Von Bora, yang merupakan bekas biarawati. Dari Katherina, ia mempunyai 6 orang anak yang bernama Hans, Elizabeth,Magdalena, Martin, Paul, dan Margareth.

Kemudian pada 18 Februari 1546, Martin Luther wafat di Eisleben, Kekaisaran Suci Romawi.

  1. II.    Latar-belakang Munculnya Pemikiran Luther tentang Gereja dan Negara

Yang mempengaruhi munculnya pemikiran Luther tentang Gereja dan Negara adalah tidak terlepas dari situasi GKR pada abad pertengahan di Eropa Barat. H. Berkhof mencatat bahwa sejak abad ke-V gereja telah diduniawikan. Artinya bahwa gereja adalah di bawah perlindungan kaisar. Kaisar berperan sebagai kepala gereja. Dengan demikian Gereja-Negara disusun selaku badan hukum yang berpusatkan istana kaisar.[2] Uskup Roma juga menyebutkan dirinya sebagai wakil Kristus yang memiliki dua kekuasaan, yaitu kuasa untuk menganugerahkan dan kuasa untuk mengalihkan kerajaan-kerajaan. Artinya semua uskup di seluruh dunia harus meminta penahbisan dan pengukuhan darinya. Selain daripada itu, ia memiliki hak untuk membuat peraturan-peraturan ibadah, perubahan dalam sakramen, dan ajaran-ajaran dalam gereja.[3] Situasi inipun terus berlanjut dari abad ke abad. Mangisi dalam bukunya, ia mencatat bahwa pada abad 11 sampai 13 perseteruan antara Paus dengan Kaisar adalah salah satu unsur penting karena gereja belum bersedia melepaskan diri dari urusan duniawi. Gereja telah memasuki kuasa politis. Oleh sebab itu, gereja telah menjadi kuda troya yang membawa penyakit dalam dirinya sehingga menyebabkan para raja makin gigih mempertahankan haknya, yang merupakan tenaga pendorong untuk merutuhkan landasan hubungan gereja-negara pada abad pertengahan.[4] Selain daripada itu juga munculnya pemikir-pemikir mistik yang berusaha “agar jiwa mengalami dan merasai Allah secara langsung”. Tokoh utama yang mencetuskan pemikiran-pemikiran ini adalah Benhard dan Eckhart.[5]

Pada abad ke 14-15, penguasa-penguasa Gereja semakin menonjol sampai kepada bidang yang tradisional dikuasai oleh gereja, seperti: Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan, Pendidikan bahkan Teologi.[6] Sehingga dapat dikatakankan bahwa pada abad ke-15 inilah terjadinya reformasi. Artinya pemikir-pemikir yang sudah tahu tentang kehidupan GKR yang semakin memburuk berusaha melakukan reformasi oleh pemikir gereja yang sudah belajar tentang teologia yang cukup baik seperti Martin Luther.

Di Jermanlah yang menjadi tempat lahirnya reformasi yang terletak di tengah Eropa. Di Negara Jermanlah raja-raja atau pangeran berkuasa penuh atas daerahnya masing-masing.[7] Banyak raja mulai mengatur urusan negerinya sendiri, wilayahnya masing-masing dan tidak mengakui klaim supremasi gereja atau Paus atas Negara,[8]dan  bangkitnya kelas pedagang dan pengusaha di bidang perdagangan juga industri yang menjadi jikal bakal kapitalisme. Hal inilah yang menggeser dominasi feodalisme yang sudah berlangsung berabad-abad yang di dalamnya gereja juga terlibat. Karena gereja sejak lama berperan sebagai soko guru sistem feodalisme, maka tidak heran bila gereja (GKR) juga menjadi sasaran sikap kritis tersebut.[9] Para Imam tidak menjadi teladan bagi masyarakat, tetapi yang terjadi adalah mencari keuntungan diri sendiri. Di satu pihak pemikiran-pemikiran mistik abad pertengahan muncul kembali di dalam Thomas Muncher. Muncher menegaskan bahwa “kemiskinan” itu terutama kemiskinan akan harta benda, kemelaratan. Lalu ia menyimpulkan hanya orang-orang miskinlah yang dapat menerima roh, terang batiniah itu (menurut Matius 5:3). Sebaliknya orang kaya justru karena kaya mereka menjadi orang-orang fasik. Sehingga pada tahun 1525 terjadi pemberontakan para petani[10] kepada kaum penguasa. Mulanya Luther menyalahkan para penguasa ini, tetapi ketika pemberontakan itu berubah menjadi pertumpahan darah, dia juga menyarang para petani.[11] Alasan mereka melakukan pemberontakkan ini adalah kutipan-kutipan Luther yang berbicara tentang “kebebasan”. Mereka menafsirkan kebebasan itu sebagai kebebasan dari kewajiban-kewajiban yang tidak wajar kepada tuan-tuannya. Akan tetapi maksud Luther tentang “kebebasan seorang Kristen” itu adalah kebebasan dan tuntutan hokum taurat bukan berarti bebas dari kerja rodi dan sebagainya.[12] Akibat peristiwa ini, Luther tidak percaya lagi bahwa rakyat sendiri bisa menjalankan pemerintahan yang teratur dalam Negara. Melalui peristiwa ini, Luther menyetujui sistem yang telah digunakan oleh raja Sachsen yang mengatakan bahwa: pemerintah membagi daerah atas distrik-distrik, dan setiap distrik mengangkat seorang pejabat yang diberi gelar “superintendent”.[13] Melalui peristiwa ini Luther mencanangkan protes terhadap ajaran dan praktik gereja.[14]

Selain dari kelompok kaum mistik muncul juga kaum Anabaptis yang menegaskan bahwa jemaat Kristen hanya boleh terdiri dari orang-orang percaya saja. Oleh karena itu, mereka menolak pembaptisan anak-anak. Dasar gereja menurut mereka adalah kesucian anggota-anggotanya bukan rahmat Allah atas orang-orang berdosa. Hal inilah yang ditentang oleh Luther yang mengatakan bahwa dasar gereja bukanlah kesucian anggota-anggotanya melainkan rahmat Allah dan pemberitaan firman dan sakramen-sakramen.[15]

 

  1. III.    Pandangan Martin Luther tentang hakikat Gereja dan Negara

II.1. Pandangan Martin Luther tentang Hakikat Gereja

Hakikat Gereja menurut Luther adalah perefleksian penekanan atas firman Allah. Firman Allah berjalan terus untuk menaklukan dan kemanapun ia akan menaklukan dan mendapat kesetiaan yang benar kepada Allah dan gereja. Injil adalah sesuatu yang esensial bagi identitas gereja, “di mana firman itu ada di sana ada iman, dan di mana ada iman dan di sana ada gereja yang benar”. Luther juga mengatakan bahwa gereja yang kelihatan dibentuk oleh pemberitaan firman Allah. Lembaga gereja ini merupakan alat anugerah yang ditentukan secara ilahi. Di samping itu juga, Luther mengatakan bahwa “gereja yang palsu hanya mempunyai rupa yang kelihatan saja, meskipun ia memiliki jabatan-jabatan Kristen”. Dengan kata lain, gereja abad pertengahan telah menyerupai gereja yang sebenarnya tetapi dia benar-benar sesuatu yang berbeda.[16]

Luther menerima pandangan Augustinus tentang gereja sebagai suatu badan “campuran”. Artinya gereja harus dilihat sebagai gereja yang keanggotaannya bercampur baik orang-orang kudus maupun orang-orang berdosa.[17]

II.2. Pandangan Martin Luther tentang Negara

Luther memandang Negara sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Konsekuensinya adalah bahwa seluruh dunia dan manusia harus tunduk kepada Allah. Dengan demikian maka kesetiaaan manusia kepada penguasa menjadi tanpa syarat. Luther melihat kesetiaan warga Negara kepada pimpinannya sebagai hal yang rohani dalam kerangka hubungan manusia dengan Allah.[18]

Dalam katekismus besar Luther, juga disebutkan bahwa kuasa itu berasal dari Allah. Luther meneruskan penjelasannya yang mengatakan bahwa pemerintah tercakup di dalam kedudukan orang tua. Artinya ketaatan kepada penguasa adalah ketaatan kepada seorang bapak, sebab pejabat bukan hanya bapak dari satu keluarga melainkan bapak dari rakyat. Para penguasa bagaikan orang tua[19] dan penguasa itu meneladani Kristus. Artinya ialah bahwa seorang penguasa harus mengosongkan dirinya seperti Kristus. Ia tidak mengeksploitasi kekuasaan demi kepentingannya, melainkan demi kepentingan orang lain.[20]Negara tidak boleh merebut hak-hak Allah. Allahlah yang memerintah jiwa-jiwa bukan Negara. Luther mempertegas bahwa tugas tanggung jawab pemerintah atau penguasa adalah mempraktekkan keadilan, mengizinkan kebebasan bagi setiap orang dalam melaksanakan kepercayaannya, membela Negara dari semua musuh-musuhnya, dan memuliakan Tuhan.

  1. IV.    Hubungan Gereja dan Negara menurut Martin Luther

Dalam menjelaskan hubungan antara gereja dan Negara, luther menggunakan teori atau ajaran tentang “dua kerajaan”[21]atau “dua pemerintahan”. Luther menarik suatu perbedaan antara pemerintahan “spiritual” yang berasal dari Allah yang diberlakukan melalui firman Allah dan tuntunan roh kudus, dan pemerintahan “duniawi” Allah diberlakukan melalui raja-raja, pengeran-pangeran dan hakim-hakim dengan mempergunakan pedang dan hukum Negara. Luther juga menekankan perbedaan antara konsepsi manusia dan konsepsi Ilahi tentang “kebenaran” atau “keadilan”, suatu tema yang merupakan karakteristik dari “teologi salib”. Ukuran Allah tentang keadilan mempersoalkan semua perkara di dunia ini. Luther mengatakan bahwa keteraturan akan dikenakan untuk menciptakan kedamaian dan untuk menekan dosa dan semua ini didasarkan atas firman Allah dan merefleksikan kehendak Ilahi untuk membangun dan memelihara bidang duniawi.[22] Atau dengan kata lain, Allah memberi kepada gereja kuasa untuk mengurusi kehidupan rohani dari umat yang sudah berada dalam lingkungan kerajaan Allah, sedangkan kepada Negara Allah memberikan kuasa mengurusi kehidupan duniawi untuk menertipkan orang-orang jahat, sekaligus menolong gereja mengupayakan orang-orang yang belum Kristen itu bisa masuk ke dalam naungan kerajaan Allah. Karena para raja dan bangsawan itu adalah warga gereja, maka sejalan dengan semboyan “Imamat  Am Orang Percaya” bahwa mereka juga terpanggil untuk membaharui gereja dan mengambil bagian dalam pelayanan gereja terutama dalam memberantas kejahatan dan mengupayakan perikehidupan yang kristiani. Dengan alasan itu pula maka Luther setuju bila orang Kristen duduk dalam pemerintahan. Ia menerima pandangan Augustinus yang mengatakan bahwa pemerintahan Kristen harus memerintah dengan akal, kasih dan kehendak baik.[23] Pemerintah atau pangeran-pangeran itu harus tetap melaksanakan tugas ilahi (Luther mengacu pada Roma 13:1-7, I Petrus 2:13-14)[24]

Pada mulanya Luther berpendapat bahwa secara kelembagaan Negara tidak boleh mengurusi kehidupan gereja. Tetapi ketika ia melihat bahwa ada kelompok tertentu atas nama imam melakukan pemberontakkan dan huru-hara yang juga mengakibatkan kerugian kepada gereja, antara lain pemberontakkan kaum petani tahun 1525 yang dinilai Luther sudah mengarah pada anarkhi, maka Luther memberi peluang kepada negara untuk ikut mengatur kehidupan gereja. Dalam perkembangan selanjutnya campur tangan Negara terhadap gereja semakin besar. Itu tak lepas dari dukungan raja-raja tertentu di Jerman terhadap Luther ketika membela di hadapan tuntutan GKR. Itulah sebabnya di Negara-negara yang didominasi aliran Lutheran (mis. Jerman dan Negara-negara Skandinafia) gereja pada umumnya menjadi gereja Negara, paling tidak hingga pada abad ke XIX.[25]

BAB III

PENUTUP

  1. I.    Analisa

Gereja dan Negara menurut Martin Luther harus dipisahkan meskipun sebenarnya bersinggungan. Pemisahan itu, Luther menggunakan ajaran tentang “dua kerajaan” atau “dua pemerintahan”. Namun dikatakan bersinggungan karena sama-sama melakukan pekerjaan yang diamanatkan Tuhan demi memanusiakan manusia. Gereja sebagai bagian dari warga Negara RI dan makhluk social, yang tidak menutup kerjasama dengan Pemerintah dalam membangun manusia seutuhnya.

Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah adakah ajaran “Dua Kerajaan Luther” hadir di Negara Republik Indonesia saat ini? secara ringkas dapat disebut ada jika pendekatannya dari sudut pemisahan kekuasaan sebagai unsur penting. Namun dikatakan tidak ada, jika kita melihat keadaan gereja mencampuri urusan Negara, bahkan lebih memfokuskan pada bagian politik lalu mengabaikan pelayanan, dan penggembaan. Akan tetapi jika kita menganalisa secara umum di Negara kita ini bahwa mayoritas masyarakat tidak mengenal ajaran tersebut di sebabkan oleh beberapa faktor, misalnya para Pendeta kurang mendalami ajaran Luther ini sehingga sulit menerapkannya dalam kehidupan jemaat. Kesulitan mereka yaitu, tidak mengetahui bahwa kedua kerajaan itu berasal dari Allah. Banyak para penguasa tidak memerintah sesuai kehendak Allah tetapi yang terjadi adalah menindas rakyat oleh kekorupsian mereka.  Demikian pula dengan para Hamba Tuhan yang tidak mau melayani dengan tulus sehingga yang terpikirkan adalah kemakmuran.

Siapakah gereja dan Negara itu? Dalam konsep gereja rakyat, bukankah orang yang di dalam gereja itu adalah bagian dari masyarakat, dan itu juga yang menjalankan pemerintahan? Jawabnya, memang demikian, sebab orang Kristen hidup di dalam dunia, kakinya berdiri sebelah di kawasan gerejawi dan satu lagi di kawasan duniawi. Dalam masyarakat yang non Kristen prinsip itu bisa berlaku. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa Luther melihat kedua kekuasaan itu sebagai dua lingkaran yang terpisah tetapi bersinggungan secara fleksibel pada bagian tertentu. Luther melihat kedua kekuasaan itu berpusat pada Kristus. Dengan demikian gereja dan dunia ini adalah milik Kristus.

Politik adalah salah satu bidang pelayanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sama pentingnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Menurut Luther dalam politik, pejabat pemerintah dan politisi jiga adalah imam yang mesti mempergunakan kemampuannya di bidang politik bagi kepentingan manusia dan Tuhan (istilah “imamat am orang percaya”). Prinsip Marthin Luther tentang pekerjaan menggaris bawahi bahwa setiap pekerjaan adalah mimbar Allah. Orang Kristen bisa menjadi serdadu tetapi bukan berperang untuk menyerang orang lain melainkan karena keadaan darurat atau terpaksa demi mempertahankan kepentingan orang lain. Setiap pekerjaan yang di embankan bagi tiap-tiap orang harus memiliki  tujuan dan berusaha supaya bermanfaat bagi orang lain.

  1. II.    Kesimpulan

Pada abad pertengahan fungsi gereja dan Negara telah tercampur baur. Gereja mengurusi kehidupan Negara demi memperoleh keuntungan sehingga pelayanan dan penggembaan diabaikan. Para penguasa pun tidak mengakui klaim supremasi gereja atau Paus atas Negara. Tetapi oleh anugerah Tuhan ia memperalatkan hambanya (Marthin Luther) untuk melakukan pembaharuan dalam kehidupan gereja dan Negara. Luther mengatakan bahwa hubungan Gereja dan Negara bukanlah suatu musuh dan bukan juga gereja yang berkuasa atas Negara, demikian sebaliknya. Tetapi Luther di sini memberikan pemahaman kepada gereja dan Negara bahwa gereja adalah mitra dari Negara dan juga Negara adalah mitra dari gereja tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa tidak ada yang berkuasa, tetapi menurut Luther gereja tetap berada di bawah pemerintahan namun pemerintah tidak menjadi hakim di dalam gereja tersebut melainkan menjadi sahabat dalam menyelesaikan masalah dan juga gereja bukanlah yang mengatur Negara melainkan yang memberikan pemahaman tentang hal yang dikatakan firman Tuhan.

 

Daftar Pustaka

  1. Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran di dalam di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-GM; 2000.
  2. Berkhof, H., Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM; 1996.
  3. De Jonge, Ch., Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM; 2004.
  4. Jan S. Aritonang, Garis Besar Sejarah Reformasi, Bandung: Jurnal Info Media; 2007.
  5. Luther, Marthin, Katekismus Besar, terj. Anwar Tjen, Jakarta: BPK-GM; 1996.
  6. Mangisi SE. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther, Pematangsiantar: kalportase pusat GKPI; 2008.
  7. McGrath, Alister E., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK-GM; 2002.
  8. Tappert, Theodore B., Konkord konfensi Gereja Lutheran, Jakarta: BPK-GM; 2004.

Van de End, Th., Harta dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2000.


[1] Bnd. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja ,(Jakarta: BPK-GM;2000), hlm.. 31.

[2] H. Berkhof,Sejarah Gereja,(Jakarta:BPK-GM;1996), hlm. 50-51.

[3] Theodore B. Tappert, Konkord konfensi Gereja Lutheran, (Jakarta: BPK-GM;2004), hlm.414.

[4] Mangisi SE. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther,(Pematangsiantar: kalportase pusat GKPI;2008), hlm.26.

[5] Th. Van de End, Harta dalam Bejana, (Jakarta:BPK-GM,2000), hlm. 142.

[6] Ch de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-GM;2004), hlm. 69.

[7] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm.29.

[8] H. Berkhof, Op.Cit., hlm. 138.

[9] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam di Sekitar Gereja,(Jakarta:BPK-GM;2000), hlm26.

[10] Th. Van de End, Op.Cit., hlm. 175.

[11] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm. 32.

[12] Th. Van de End, Op.Cit., hlm. 175-176.

[13] Ibid, hlm.177.

[14] H. Berkhof, Op.Cit., hlm. 120.

[15] Th. Van de End, Op.Cit., hlm. 177-179.

[16] Alister E. McGrath,Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta:BPK-GM;2002),hlm.249-250.

[17] Ibid, hlm. 251.

[18] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm.90.

[19] Marthin Luther, Katekismus Besar, terj. Anwar Tjen, (Jakarta:BPK-GM;1996), hlm. 63-65.

[20] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm. 92-93.

[21]  Jan S. Aritonang, Garis Besar Sejarah Reformasi, (Bandung: Jurnal Info Media;2007), hlm. 127.

[22]Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 270

[23] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm. 91.

[24] Alister E. McGrath, Op.Cit.

[25] Jan S. Aritonang, Op.Cit.





Warna Busana Liturgis

27 12 2011

Norma-norma liturgis Gereja memang menetapkan warna-warna busana liturgis yang khusus untuk beragam perayaan. Penggunaan aneka warna dalam busana liturgis memiliki dua tujuan: Pertama, warna menegaskan masa liturgi tertentu dan perjalanan rohani umat beriman melewati masa-masa ini. Kedua, warna memberi makna masa liturgi dengan menegaskan suatu peristiwa tertentu atau suatu misteri iman tertentu. Penjelasan berikut disampaikan berdasarkan norma-norma Pedoman Umum Misale Romawi no 345-347.

 

PUTIH atau KUNING, warna-warna yang melambangkan sukacita dan kemurnian jiwa, dikenakan sepanjang Masa Natal dan Masa Paskah. Busana liturgis putih juga dikenakan pada perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya); begitu pula pada pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus yang bukan martir, pada Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November), Kelahiran St Yohanes Pembaptis (24 Juni), Pesta St Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta Tahta St Petrus Rasul (22 Februari) dan Pesta Bertobatnya St Paulus Rasul (25 Januari). Putih juga dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani dan Misa Arwah guna melambangkan kebangkitan Tuhan kita, ketika Ia menang atas dosa dan maut, kesusahan dan kegelapan.

 

MERAH memiliki makna ganda. Di satu pihak, merah melambangkan pencurahan darah; di lain pihak, merah juga melambangkan api kasih Allah yang bernyala-nyala. Karenanya, busana liturgis merah dikenakan pada hari Minggu Palma (ketika Kristus memasuki Yerusalem untuk menyongsong kematian-Nya), pada hari Jumat Agung, pada hari Minggu Pentakosta (ketika Roh Kudus turun atas para rasul dan lidah-lidah api hinggap di atas kepala mereka), dalam perayaan-perayaan Sengsara Tuhan, pada pesta para rasul dan pengarang Injil (terkecuali St Yohanes yang tidak mengalami kemartiran), dan pada perayaan-perayaan para martir.

 

HIJAU dikenakan sepanjang masa liturgi yang disebut Masa Biasa. Masa Biasa berfokus pada masa tiga tahun pewartaan Tuhan kita di depan publik, dan ayat-ayat Injil, teristimewa pada hari-hari Minggu, mengisahkan ajaran-ajaran, mukjizat-mukjizat, pengusiran setan dan perbuatan-perbuatan baik lain yang dilakukan-Nya selama masa itu. Segala pengajaran dan peristiwa ini mendatangkan pengharapan besar dalam misteri keselamatan. Kita berfokus pada hidup-Nya yang Ia bagi bersama umat manusia semasa hidup-Nya di dunia ini, hidup yang sekarang kita bagi bersama-Nya dalam komunitas Gereja dan melalui sakramen-sakramen-Nya, dan kita menanti dengan rindu berbagi hidup abadi bersama-Nya dalam kesempurnaan di surga. Hijau melambangkan pengharapan dan hidup ini, sama seperti tunas-tunas hijau yang menyembul di antara pepohonan yang tandus di awal musim semi membangkitkan pengharapan akan hidup baru.

 

UNGU dikenakan selama Masa Adven dan Masa Prapaskah sebagai tanda pertobatan, kurban dan persiapan. Di pertengahan dari masing-masing masa ini: pada hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV) – busana liturgis berwarna JINGGA biasa dikenakan sebagai tanda sukacita. Kita bersukacita di pertengahan masa ini karena kita telah melewati separuh persiapan kita dan sekarang mengantisipasi kedatangan sukacita Natal atau Paskah. Beberapa ahli liturgi, khususnya di Gereja Episcopal, memperkenalkan busana liturgis berwarna biru sepanjang Masa Adven guna membedakannya dari Masa Prapaskah; namun demikian, tidak ada persetujuan yang diberikan oleh Gereja Katolik untuk busana liturgis berwarna biru ini. Ungu dapat juga dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani atau Misa Arwah.

 

Walau sekarang jarang sekali dipergunakan, busana liturgis berwarna HITAM dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani sebagai tanda maut dan duka. Hitam dapat juga dikenakan pada Peringatan Arwah Semua Orang Beriman atau Misa Arwah, misalnya pada hari peringatan kematian orang yang kita kasihi.

 

Pada dasarnya, keanekaragaman warna busana liturgis berupaya membangkitkan kesadaran kita akan masa-masa kudus; suatu upaya lahiriah lain untuk menghadirkan misteri-misteri kudus yang kita rayakan.





Komunitas Sadrach Dan Akar Kontekstualnya

27 12 2011

Sadrach adalah nama dari seorang pribumi berstrata  sosial bawah di Jawa Tengah, dari desa Karangjasa di bagian Selatan Bagelen. Nama lengkapnya ialah Sadrach Surapranata. Nama Sadrach merupakan sebuah nama baru yang ia pakai setelah ia dibaptis oleh Rev. Ader, pendeta dari Indische Kerk, pada tanggal 14 April 1867. Nama Sadrach sebelumnya ialah Radin Abis. Sebelum ia menjadi seorang Kristen, ia adalah seorang anak muda yang belajar tentang Al-Qura’an. Dan setelah ia lulus dari sana, maka ia menjadi pemuda Jawa seutuhnya, ia tidak langsung melanjutkan pendidikannya di Pesantren, tetapi lebih dahulu ia belajar “ngelmu” di bawah bimbingan guru ngelmu Jawa bernama Sis Kanoman di Semarang. Dan setelah ia berumur 17 tahun, ia pergi ke Jawa Timur, dan di sana ia belajar di berbagai Pesantren. Sesudah ia lulus dari pesantren ia kembali ke Semarang. Dan tinggal di Kauman. Namun, sekembalinya ke sana ia bertemu dengan dengan Sis Kanoman yang tidak lagi berstatus sebagai guru ngelmu Jawa, karena sudah bertobat menjadi seorang kristen akibat kekalahannya sewaktu melakukan perdebatan umum dengan penginjil Jawa bernama Tulung Wulung. Dari pertemuan Radin dengan mantan guru ngelmunya tersebutlah Radin pergi ke Batavia pada tahun 1866 bersama dengan Tunggul wulung untuk bertemu dengan F.L. Anthing[1]. Dan di sinilah awal mulanya Radin menjadi seorang Kristen dengan nama Sadrach.

Setelah semuanya ini, maka Sadrach memulai pekerjaannya. Dan sebagai hasil kerjanya yang pertama ia berhasil menobatkan Kiai Ibrahim melalui perdebatan umum. Setelah itu, Ibrahim menjadi teman setia Sadrach dalam pekerjaan PI. Orang kedua adalah Kiai Kasanmetaram dan dan diikuti sejumlah orang lainnya seperti Kiai Karyadikrama dan Kiai Wiradikrama, kedua bersaudara pencari kebenaran dan juga mistik. Kiai-kiai ini diajarkan sendiri oleh Sadrach. Dan dari hal inilah Sadrach perlahan-lahan menjadi guru ngelmu baru yang berpengaruh dan dihormati di Karangjasa dan sekitarnya. Sehingga dalam setahun jumlah yang bertobat mendekati seratus orang. Sehingga pada tahun 1871 gedung gereja pertama didirikan di Karangjasa. Sehingga karangjasa menjadi tempat berkumpulnya orang-orang Kristen.

Sadrach adalah pelopor penginjilan di Jawa yang menjadi pemimpin kharismatis orang-orang Jawa di seluruh Jawa Tengah. Namun, bagi pemerintah lokal Kolonial Belanda menaganggapnya sebagai seorang pemberontak yang mengancam kestabilan dan ketentraman dan ketertiban umum. Sedangkan bagi misionaris Belanda yang tidak mengetahui latar belakang pemikiran Sadrach pada umumnya menganggap kekuasaan Sadrach dan kepemimpinannya sudah melampaui batas-batas kekristenan yang benar dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Calvinisme. Mereka menuduhnya sebagai pemimpin orang Jawa sesat karena ia menyatakan dirinya ratu adil dan menganggap ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan bukan Kristen. Jemaatnya dianggap sebagai orang-orang Kristen palsu atau jemaat Islam yang berpakain Kristen. Sehingga F. Lion Cachet mengganti Karangjasa, yang berarti “batu karang yang teguh berdiri” menjadi Karangdosa, yang berarti “batu karang dosa”. Mengapa hal ini bisa terjadi? Perlu diketahui bahwa Jemaat Sadrach merupakan jemaat yang unik, sebab jemaat ini muncul bukan dari pelayanan misi  Indische Kerk atau dari salah satu organisasi PI yang bertugas di Jawa Tengah pada paruhan abad ke XIX, melainkan sebagai hasil karya para penginjil pribumi Jawa yang menghasilkan jemaat dari budaya Jawa. Sehingga munculah suatu Jemaat pribumi berpenampilan Jawa, di mana jemaat ini bermula dari sebuah “house Church” yang memiliki kebaktian bersifat informal. Karena alasan inilah  para PI menaruh kecurigaan pada jemaat tersebut. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Hal ini tidak terlepas dari fondasi dasar yang telah diletakkan oleh para penginjil pribumi, secara khusus Sadrach yang berasal dari suku pribumi Jawa. Dalam pekerjaannya sebagai pengabar Injil, ia selalu menghargai kebudayaan, sehingga ia tidak pernah lepas dari budaya dan tradisi Jawa. Dan menurutnya, pertobatan berarti pembebasan yang meliputi kebebasan untuk menghargai dan mempertahankan budaya serta tradisi Jawa. Sehingga kebaktian dan sistem ritualnya terikat dengan tradisi Jawa. Hal ini dapat dilihat dari praktik yang dilakukannya, di mana gereja yang dibangun serupa dengan Mesjid, selain lonceng mereka masih menggunakan bedung seperti yang digunakan di Mesjid sebagai panggilan untuk beribadah. Dan dalam hal busana, jemaat masih menggunakan busana Jawa dan tidak mengenakan busana para penginjil dari Eropa. Serta pada saat pelaksanaan ibadah mereka mengikuti tradisi Islam, di mana tempat duduk laki-laki di dalam gereja dipisahkan dari tempat duduk perempuan. Perempuan menggunakan kerudung. Selain daripada itu, mereka masih menggunakan istilah-istilah Islam, misalnya nama gereja disebut Mesjid, sedangkan bagi para pemimpin jemaat menggunakan nama imam. Dari peristiwa ini, maka Uhlenbusch menamakannya sebagai “Kristen islam” dan Bakker menyebut mereka sebagai “agama Islam dalam kemasan Kristen”. Selain daripada itu, jemaat Sadrach ini menggunakan struktur gereja episkopal. Meskipun pada awalnya Sadrach tidak menaruh perhatiannya pada aspek kelembagaan jemaat. Namun, perhatiannya yang utama adalah tertuju pada penyebaran ngelmu baru, karena ia berlatar belakang guru ngelmu dan Kiai. Sehingga jemaat lebih bersifat mistis, lebih menekankan spritualitas.

Meskipun demikian, usaha para anggota jemaat Sadrach untuk mengkristenkan adat dan tata cara Muslim Jawa mengesankan, karena adat kebiasaan Jawa sangat diperlukan dalam konteks kehidupan masyarakat desa, sehingga mereka melakukan percobaan yang menakjubkan untuk tetap mempertahankan warisan leluhur tanpa menghindari iman baru mereka.

Sehubungan dengan itu, menurut pembaca dari buku “Kaum Sadrach dan akar kontekstualnya”, bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sadrach dan para pengikutnya merupakan suatu hal yang baik, meskipun masih ada kelemahan dalam praktek-praktek mereka. Mengapa? Karena Sadrach dan para pengikutnya mencoba untuk menyampaikan injil lewat kaca mata budaya setempat, sehingga jemaat yang menerima injil mudah memahami injil yang disampaikan, karena injil tersebut berjalan dengan menggunakan media kebudayaan setempat.


[1] F.L. Anthing adalah seorang sarjana dan praktisi hukum yang telah menjadi penginjil dan tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah seorang tokoh yang meyakini bahwa pendekatan yang paling menjanjikan untuk pewartaan injil di Jawa ialah melalui orang-orang Kristen Jawa “inlander moet worden gewonnen door deinlander”.





PANDANGAN LUTHER TENTANG IMAMAT AM ORANG PERCAYA

27 12 2011
  1. A.     Sejarah hidup Martin Luther[1]

Marthin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 di Eisleben, Saxonia, dan wafat pada tanggal 18 Februari 1546. Ia berasal dari keluarga petani, dan mengaku,”Ich bin ein Bauern Sohn” (Saya anak petani). Ayahnya bernama Hans Luther, dan ibunya Margaret Ziegler.

Pada musim panas 1484, keluarga Luder pindah ke Mansfeld, Magdeburg dan Einsenach. Pada tahun 1501, Luther belajar di Universitas Erfurt dan meraih gelar MA (Magister Artium) pada tahun 1505 melalui Trivum dan Quadrivium. Kemudian sesuai dengan keinginan ayahnya, ia melanjutkan studi dengan memasuki fakultas hukum. Tetapi ketika ia baru memulainya, ia mengalami kejadian yang amat menentukan masa depannya, yaitu ketika ia berjalan di tempat terbuka dalam cuaca yang buruk, ia hampir-hampir tersambar petir; takut akan mati, dan berjanji kepada Santa Anna, bahwa ia akan masuk ke biara.

Dan pada tanggal 17 Juli 1505, ia masuk ke ordo rahib St.Agustinus. Dan pada tanggal 3 April 1507, ia di tahbiskan menjadi imam. Kemudian pada tahun 1512, ia meraih gelar Doktor Teologi.

Pada tahun 1524 ia melepaska jubah kebiaraanya, dan pada tahun 1525 ia menikah dengan Katherina von Bora, yang merupakan bekas biarawati. Dari Katherina, ia mempunyai 6 orang anak yang bernama Hans, Elizabeth,Magdalena, Martin, Paul, dan Margareth.

Kemudian pada 18 Februari 1546, Martin Luther wafat di Eisleben, Kekaisaran Suci Romawi.

 

  1. B.     Pengertian

Imamat am orang percaya merupakan pandangan Luther yang menandaskan bahwa Paus dan rohaniwan tidak boleh berkuasa atas kaum awam (warga gereja), karena setiap rang Kristen adalah imam dan ikut bertanggung jawab dari dalam kehidupan gereja.[2]

 

  1. C.     Latar-belakang

Dalam Teologi Sistematis, gereja dibedakan dalam beberapa segi[3]. Segi pertama dapat disebut segi objektif, yaitu gereja dilihat sebagai tempat di mana manusia bertemu dengan keselamatan yang diberikan Allah kepadanya dalam Yesus Kristus. Gereja adalah suatu lembaga atau institusi yang mengantar keselamatan kepada manusia. Segi kedua dapat disebut segi subyektif. Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya yang ingin beribadah kepada Allah. Gereja tidak hanya tempat di mana manusia mendengar dan menerima, tetapi juga tempat di mana manusia menjawab dan memberi. Demikian gereja adalah ungkapan iman orang-orang percaya, suatu persekutuan yang dibentuk manusia untuk bersama-sama bertumbuh dalam iman dan untuk menyebarkan Injil Yesus Kristus di mana-mana, supaya bangsa Allah di dunia ini semakin besar. Dan segi yang ketiga yaitu segi apostoler atau segi ekstravert. Gereja adalah persekutuan orang percaya yang diutus untuk mengantar keselamatan Allah kepada seluruh dunia.

Menurut Jan S. Aritonang, bahwa penyebab mendasar timbulnya reformasi adalah perbedaan antara ajaran atau teologi dan praktek gereja (GKR) dengan ajaran Alkitab. Tetapi peristiwa pemicu reformasi itu adalah penjualan surat penghapusan siksa (aflat) di Jerman oleh Johann Tetzel.[4] Sekarang muncul pertanyaan bagaimana ajaran dan praktek gereja – khususnya Gereja Katolik Roma – sebelum munculnya reformasi sehingga muncullah pemikiran untuk membaharuinya?

Hal ini tidak terlepas dari pemahaman tentang gereja itu sendiri. Pada abad pertengahan (590-1500) gereja dipahami sebagai suatu lembaga.[5] Maksudnya ialah bahwa gereja yang merupakan persekutuan semua orang percaya tidak mendapat penekanan, sebab semua perhatian teologis diberikan kepada segi institusional. Gereja dipandang sebagai lembaga di mana para pejabat atau kaum klerus membagikan keselamatan kepada kaum awam, bahkan kata gereja hampir sinonim dengan hierarki, korps pejabat-pejabat gerejawi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa gereja, yaitu kaum klerus, menentukan apa yang harus dipercaya dan apa yang harus dibuat untuk menerima keselamatan. Lalu sehubungan dengan pemahaman tentang gereja tersebut, maka apa yang yang terjadi di dalam tubuh gereja itu sendiri?

Sehubungan dengan pemahaman tentang gereja tersebut di atas, maka yang terjadi dalam tubuh gereja ialah adanya pemahaman bahwa Uskup Roma atau Paus mempunyai kedudukan khusus di tengah-tengah semua Uskup Gereja Katolik yang di dalam dirinya melambangkan keesaan gereja. Sehingga pada abad pertengahan Paus menjadi pemimpin Gereja Katolik di Eropa Barat.

Menurut Chr. De Jonge dan Aritonang, bahwa nama Paus (bahasa Latin Papa, bahasa Inggris Pope) berasal dari bahasa Yunani yaitu Papas. Yang berarti bapak.[6]

Lebih lanjut dijelaskan bahwa gelar ini diberikan di Timur kepada uskup-uskup, kepala-kepala biara dan juga kepada imam-imam biasa. Di Barat papa menjadi gelar untuk uskup-uskup, sejak ± 450 hanya Uskup Roma, sehingga Uskup inilah sekarang disebut Paus. Untuk mengerti mengapa kepausan, yaitu keuskupan Roma dapat menjadi pusat Gereja Barat, perlu diketahui bahwa uskup ini dianggap pengganti Rasul Petrus, yang ditunjuki oleh Kristus sebagai yang pertama di antara para Rasul (Matius 16:18-19; Yohanes 21:15-17).

Dan salah seorang Bapak Gereja yang mendukung kedudukan Paus ini ialah Augustinus.[7] Di mana ia mendukung para Paus sebagai penerus Rasul Petrus dan simbol yang selalu kelihatan dari kesatuan tubuh Kristus dan para pemimpin yang ditunjuk-Nya.

Dan untuk mendukung kedudukan tertinggi  kepausan, maka Augustinus mengumpulkan rekan sezamannya, yakni Hieronymus, Ambrosius, dan Optatus untuk melakukan penafsiran pada teks-teks Injil khususnya pada Injil Matius 16:18. Selain daripada itu, ada beberapa alasan  mengapa pilihan untuk peranan ini harus ada pada Uskup Roma, yaitu.[8]

  1. Ada tradisi yang menghubungkan Roma dengan Rasul Petrus  dan peranannya dalam memulai berdirinya gereja, yaitu pasal-pasal awal kitab Kisah Para Rasul yang memperlihatkan Petrus sebagai seorang pemimpin yang hanya dapat ditandingi Paulus.
  2. Roma adalah ibu kota kekaisaran yang hampir sepanjang masa pembentukan gerakan Kristen, sehingga kota Roma diberikan peranan istimewa.
  3. Sejumlah uskup Roma, yaitu dari Clemens I sampai dengan Leo I (440-461) memperoleh penghargaan dari semua gereja lain karena mereka sering memberikan pandangan yang berbobot dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan teologis.

 

Dan sehubungan dengan pengukuhan kekuasaan Paus tersebut. Maka para Paus, mulai dari Damascus (366-384) sampai dengan Leo Agung, seratus tahun kemudia, telah merumuskan dasar teologis untuk mendukung tuntutan mereka atas pimpinan gereja.[9] Hasil dari perumusan teologi  itu maka muncullah perbedaan wewenang antara uskup-uskup dengan Paus. Di mana uskup hanya berkuasa di wilayah keuskupan mereka masing-masing. Sementara Paus berkuasa di seluruh Gereja dan mempunyai Plenitudo Potestatis (kuasa yang penuh) serta magisterium (wewenang untuk mengajar atau menentukan ajaran. Dalam perkembangan selanjutnya pada waktu sekitar abad ke-7 sampai dengan abad ke-11, sejumlah Paus mengklaim bahwa kekuasaan mereka lebih tinggi dari kekuasaan kaisar atau raja-raja mana pun di dunia ini. Mereka membandingkan diri dengan matahari, sedangkan raja-raja dibandingkan dengan bulan yang mendapat cahayanya dari pantulan cahaya matahari.

Selanjutnya disusunlah hierarki jabatan di dalam tubuh gereja; Paus merupakan pejabat tertinggi, lalu di bawahnya menyusul serangkaian jabatan imam (klerus; kleros), yaitu jabatan yang diperoleh melalui tahbisan (sakramen pentahbisan imam). Dan berdasarkan dengan itu mereka diperkenankan memberitakan firman dan melayankan sakramen. Sementara itu umat gereja pada umumnya disebut kaum awam (laikos); mereka ini tidak berhak membaca (apalagi memberitakan) firman dan melayankan sakramen dan berkewajiban melakukan sebanyak mungkin amal bakti; termasuk (bahkan terutama) memberi derma ataupun menyerahkan harta benda mereka sebanyak-banyaknya kepada gereja.[10]

 

  1. D.    Pandangan Martin Luther tentang Imamat Am Orang Percaya

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang menjadi sasaran reformasi ialah ajaran gereja (dalam hal ini GKR[11]). Maka Luther juga mensasarankan kritiknya terhadap ajaran gereja. Sehingga Luther juga tidak banyak mensasarankan atau berbicara tentang pembaharuan jabatan berbeda dengan Calvin. Karena Calvin memahami gereja sebagai persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan berkat kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus, yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan manusia berdosa, yang kesemuanya disambut dan diterima manusia melalui iman.[12] Sejalan dengan pemahaman tentang Alkitab yang berpusat pada (injil) Yesus Kristus, maka ditegaskan bahwa gereja adalah tempat yang bisa ditemukan di mana saja, asalkan di sana firman atau Injil yang murni diberitakan dan sakramen yang murni dilayankan. Sehubungan dengan itu Calvin mendaskan bahwa Allah memanggil dan menyediakan orang-orang yang ditugaskan membritakan firman Allah dan melayankan sakramen, serta gembala-gembala yang menuntun dan membina warga gereja.[13] Dengan demikian maka menurut Calvin gereja mempunyai peranan kunci dalam hubungan antara manusia dengan Allah sebagai sarana atau saluran pemberitaan Firman dan pelayanan sakramen. Sehingga ia mengharuskan gereja untuk memiliki seperangkat pejabat yang ditunjuk untuk memberitakan firman (dalam wujud kata-kata maupun tanda) dan membina orang percaya. Dan dengan argumen itu Calvin, di dalam gereja ada empat jabatan, yaitu gembala atau pendeta (pastor, pengajar (doctor), penatua (Presbyter) dan syamas atau diaken (diakon). Namun yang perlu di catat bahwa Calvin juga mempunyai pendapat yang sama dengan Luther, di mana ia juga tidak setuju jika imamat khusus sebagai perantara untuk menyalurkan keselamatan itu kepada manusia.

Namun berdasarkan pergumulan Luther di dalam mendalami Alkitab dan ajaran gereja, ia sadar bahwa pemahaman tentang jabatan yang diberlakukan di dalam GKR pada waktu itu secara teologis menyimpang dari amanat Alkitab. Sehingga ketika Luther berbicara tentang jabatan, ia segara mengaitkannya dengan pusat atau inti amanat Alkitab dan dengan hakikat gereja sebagai persekutuan orang-orang beriman, yang telah diselamatkan Kristus dan yang hidup disekitar firman dan sakramen. Namun perlu diketahui bahwa jabatan gereja tidak ditolak oleh Luther tetapi coraknya di ubah. Karena baginya jabatan adalah pada dasarnya untuk pelayanan firman. Lebih jauh lagi Luther menghapuskan batas antara kaum klerus dan kaum awam.

Berdasarkan penelitian atas Alkitab, khusunya pada I Petrus 2:9 yang berbunyi Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib: maka Luther melihat bahwa secara hakiki tidak ada pemisahan antara kaum klerus dengan kaum awam ataupun hierarki atau penjenjangan di antara jabatan-jabatan gerejawi. Sehingga menurut Luther, bahwa jabatan imam diakhiri oleh Tuhan Yesus Kristus, Imam Besar Agung itu. [14] Dengan kematian dan kebanghkitan Kristus, manusia tidak lagi membutuhkan manusia lain untuk berperan sebagai Imam, yaitu perantara mereka dengan Tuhan, baik itu memanjatkan doa (permohonan, pengakuan dosa dan sebagainya) maupun untuk persembahan korban. Yesus Kristus telah menjadi Imam sekaligus sebagi korban yang paling sempurna, sekali untuk selamanya. Sehingga Luther menyimpulkan, oleh karena itu, kita semua adalah Imam sebab kita adalah orang Kristen.[15] Dengan ini ia bertujuan untuk menjelaskan bahwa semua orang Kristen dipanggil untuk mengajar maupun bersaksi tentang kebenaran tentang kabar baik. Namun, ia tidak bermaksud mengatakan bahwa seorang pelayan yang ditahbiskan itu tidak berguna, karena itu ia menambahkan tetapi imam-imam itu, sebagaimana kita menyebutnya, merupakan pelayan-pelayan yang dipilih dari antara kita, yang melakukan segala sesuatu atas nama kita.

Selain daripada itu, ajaran Luther tentang pembenaran (yustifikasi) hanya oleh iman memimpin kepada pandangannya tentang imamat am orang-orang percaya. Karena bagi Luther, Gereja-seperti yang nyata dari kuliah-kuliahnya tentang kitab Mazmur-adalah gereja yang tersebunyi (ecclesia abscondita).[16] Gereja terdiri dari perkumpulan orang-orang yang dipilih. Ia adalah tubuh mistik dari Kristus.

Dengan demikian, Imam memperoleh pengertian baru; itu bukan lagi jabatan khusus untuk orang-orang tertentu, melainkan fungsi pelayanan, meneladani Kristus, Sang Diakonos Agung itu. Tentu perlu ada pembagian tugas dan jabatan serta pembedaan bidang pelayanan, tetapi semua itu pada hakikatnya adalah sedeerajat. Antara para pejabat dan warga gereja pun tidak ada perbedaan derajat; yang ada hanyalah pengkhususan fungsi pelayanan.

Dan sesuai dengan inti ajaran Luther bahwa firman dan sakramen harus merupakan pusat kehidupan gereja atau umat Kristen, maka menurut Luther jabatan terpenting (tetapi bukan tertinggi, atau memiliki dignitas rohani yang lebih tinggi) dan yang memerlukan tahbisan khusus adalah jabatan pemberita Firman Tuhan dan pelayan Sakramen, dalam hal ini adalah pendeta (pastor, gembala; poimen), yang dipandangnya sama dengan jabatan Uskup di dalam GKR.[17] Pendeta dalam ibadah memberitakan pengampunan dosa, bukan karena mereka mempunyai kekuatan Rohani yang khusus, melainkan karena Allah mengamanatkan hal itu melalui mereka. Sementara jabatan-jabatan yang lain bagi Luther ia sebut adiafora (bisa ada, bisa tidak) seperti doctor, diaken, procantor, dan sebagainya.[18]

  1. Simpulan

Dari uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pandangan Luther tentang imamat am orang percaya muncul karena dilatar-belakangi oleh tradisi Gereja Katolik Roma. Di mana GKR mendakan pembedaan antara kaum rohaniwan dengan kaum awam, seperti yang telah penulis uraikan dari uraian sebelumnya.

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Abineno, J.L.Ch., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK-GM; 2006.

Aritonang, Jan S.,  Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-GM;2000.

Berkhof, H., Sejarah Gereja, Jakarta:BPK-GM; 1996.

Jonge Chr. De dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?, Jakarta: BPK-GM; 2003.

Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM; 2006.


[1] Bnd. H. Berkhof, Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-GM; 1996), hlm. 120-123.

[2] Bnd. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja ,(Jakarta: BPK-GM;2000), hlm.. 31.

[3] Bnd. Chr. De Jonge dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja, (Jakarta: BPK-GM; 2003), hlm. 5.

[4] Ibid, hlm. 29.

[5] Bnd.Chr. de Jonge dan Jan S. Aritonang, Op.Cit., hlm. 23

[6] Ibid.

[7] Bnd. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen,(Jakarta: BPK-GM; 2006), hlm. 432.

[8] Ibid, hlm. 433.

[9] Bnd.Chr. de Jonge dan Jan S. Aritonang, Op.Cit., hlm. 25.

[10] Bnd. Jan S. Aritonang, Op. Cit., hlm. 46-47.

[11] GKR adalah singkatan dari nama Gereja Katolik Roma.

[12] Jan S. Aritonang, Op. Cit., hlm. 66.

[13] Ibid, hlm. 67.

[14] Ibid.

[15] Linwood Urban, Op. Cit., hlm. 441.

[16] Bnd. J.L.Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta:BPK-GM;2006),hlm. 59.

[17] Jan S. Aritonang, Op. Cit., hlm. 47.

[18] Ibid. hlm.48.





JOHN WESLEY HIDUP DAN PELAYANANNYA

27 12 2011

 Bab1.

Pendahuluan

John Wesley adalah tokoh pencetus Metodisme. Dia adalah seorang yang sangat saleh dan seorang pengkhotbah yang sangat bersemangat. Ia memiliki kecakapan luar biasa dalam memimpin organisasi. Dia dilahirkan di Epworth, pada tahun 1703. Ia adalah seorang anak Pendeta Gereja Anglikan (Gereja Inggris). Ayahnya bernama Samuel Wesley dan ibunya bernama Susanna Annesley, yang banyak mempengaruhi kepribadian John Wesley sehingga menjadi seorang tokoh yang terkenal sampai sekarang ini. John Wesley dikenal sebagai seorang pemimpin gerakan kebangunan Rohani di Inggris pada abad ke-18 bersama dengan saudaranya yang bernama Charles Wesley dan juga sahabatnya yang bernama George Whitefield yang pada umumnya di pandang sebagai pendiri Gereja Metodis. Munculnya gerakan Metodisme ini bermula dari pertobatan yang dialami oleh John Wesley pada tanggal 24 Mei 1738. Untuk lebih mengerti tentang kehidupan dan pelayanan John Wesley ini, maka penulis akan mencoba memaparkan kehidupan dan pelayanaan John Wesley sehingga menjadi seorang yang terkenal. Bab 2. Pembahasan 2.1 Riwayat hidup John Wesley John Wesley lahir pada tahun 1703 di Epworth. Ia adalah putera seorang pendeta Anglikan bernama Samuel Wesley. Dan ibunya bernama Susanna Annesley yang lebih banyak mempengaruhi pertumbuhan kepribadian John. Susanna adalah seorang wanita yang saleh dan perpendidikan. Ia menguasai bahasa Yunani, Latin, Perancis, dan juga cakap menulis dan berpidato. Kecakapan intelektualnya ini, di samping kesalehannya, banyak diturunkan kepada John dan saudara-saudaranya. Mereka menempuh pendidikan dasar di rumah, langsung di bawah asuhan ibu mereka. John adalah anak ke-15 dari Sembilan belas bersaudara (sepuluh diantaranya meninggal ketika masih bayi). Ketika John Wesley berumur lima tahun, rumah pendeta terbakar habis. John terkurung di atas loteng rumah dan baru dapat diselamatkan pada menit-menit terakhir. Kejadian ini membuat ibunya melihat John sebagai “ puntung yang telah ditarik dari api “ (Zakharia 3:2), yang diselamatkan untuk tugas khusus. Pada tahun 1714, John memasuki Chartehouse School di London. Ia belajar hingga tahun 1720 dan kemudian pindah ke Church Christ pada universitas Oxford. Pada tahun 1724 ia menyelesaikan pendidikan tingkat Sarjana muda. Atas nasihat ayahnya ia menerima jabatan diakon pada tahun 1725 dan diangkat menjadi asisten dosen pada Lincoln college, oxford pada tahun 1726 sambil menyelesaikan program Sarjananya. John mulai tertarik dengan mistik. Ia mulai mempelajari tulisan-tulisan yang bersifat mistik, seperti: Imitatio Christi, karangan Thomas kempis yang terkenal itu. Pendidikan sarjana berhasil diselesaikannya pada tahun 1727. Ia kini diangkat menjadi Imam pembantu pada ayahnya sendiri di Epworth, karena ayahnya tidak kuat lagi. Dan pada tahun berikutnya, John diangkat menjadi Presbiter di Epworth. Pada tahun 1729, John kembali ke Oxford. Adiknya yang bernama Charles Wesley telah memulai “ Holi Club” ( klub suci )”, yang tak lama kemudian dipimpin oleh John. Perkumpulan tersebut mewajibkan displin pribadi, suatu kehidupan dengan ketaatan yang tinggi dan pelayanan sosial yang efektif. Mereka dijuluki Methodis oleh orang-orang yang ingin mencemarkan mereka, karena mereka menggunakan metode-metode keras dalam pencarian kesucian. Anak-anak muda itu mencari keselamatan, namun latihan-latihan devosional yang amat keraspun tidak memberi kedamaian pada John. Seperti Luther, John berupaya mendapatkan anugerah Allah dan menemukan kekosongan. John menaati peraturan ketat the Holi Club ini semata-mata dengan alasan ingin menyelamatkan jiwanya dengan jalan terbebas dari dosa. Ini diketahui dalam sebuah surat yang ditujukan kepada ayahnya “satu-satu tujuan hidup saya adalah untuk mencapai kesucian diri. John meyakini bahwa bila ia berhasil mencapai kekudusan serta kemurnian sejati, ia akan memperoleh keselamatan. Ia terus mencari kesempatan untuk dapat menempa jiwanya. 2.2 Pertobatan dan Pelayanan John Wesley Sesudah ayahnya wafat pada tahun 1735, John dan Charles Wesley berlayari ke Georgia, Amerika. John berkesempatan menjadi misionaris di kalangan suku Indian. Di kapal ia berkenalan dengan orang-orang Moravia (kaum pietis). Orang-orang moravia ini adalah sekelompok orang-orang Protestan yang diusir oleh pemerintah Austria pada tahun 1722. Mereka berpindah ke Jerman dan di sana mereka mendirikan suatu desa yang baru yang diberi nama: Herrnhut. Mereka mendirikan perhimpunan saudara-saudara Injili. Mereka merupakan golongan tersendiri yang mempunyai undang-undang sendiri walaupun masih tergolong dalam gereja Lutheran dan zinzendorf menjadi pemimpin mereka . John sangat terpengaruh dengan kesalehan mereka. Di kapal yang ditumpangi hampir tenggelam diterjang badai. John amat ketakutan , namun orang-orang Moravia itu tidak takut sedikitpun. John Wesley ingin mengetahui penyebab mereka tidak takut. Sehingga dia bertanya dan orang-orang Moravia itu berkata “ tidak, Tuhan ada bersama kami. Kami tidak takut mati. Dari peristiwa itu, John sadar bahwa ia tidak memiliki iman seperti orang-orang Moravia itu. Di Georgia yang menjadi tempat untuk mencapai keselamatan melalui suatu aktivitas pelayanan, justru menjadi tempat di mana ia mengalami kegagalan total. Ia tidak pernah menemui suku pribumi Amerika tersebut. Sebaliknya, ia melayani sebagai seorang pendeta dalam sebuah jemaat dan dalam waktu singkat telah mengalami konflik dengan jemaat tersebut. John jatuh hati kepada seorang pendatang cantik bernama Sophy Williamson dan membayangkan pernikahan. Tetapi wanita ini menolaknya dan menikah dengan orang lain yang menurut John pria ini tidak memperhatikan agama. Karena sakit hati dan merasa terpukul cintanya ditolak, maka John membalas dendam dengan cara mengucilkan wanita tersebut dari perjamuan kudus. Setelah itu John mengambil keputusan untuk kembali ke Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Inggris, John memeriksa ulang keadaan rohaninya dan berkesimpulan bahwa ia tidak memiliki vitalitas rohani. Ia teringat pada percakapannya dengan para penginjil Moravia ketika mereka sedang menuju Amerika. Ia juga menemukan kelegaan ketika berbicara dengan Peter Boehler, seorang penginjil Moravia yang hendak menuju Amerika, tak lama setelah John kembali ke Inggris. Boehler menyatakan bahwa upaya-upaya John mengejar kesucian sangat dangkal, karena ia tidak mempunyai iman yang sejati kepada Yesus Kristus. Boehler memberi saran kepada John untuk berkhotbah sampai mempunyai iman dan jika sudah mempunyai iman, john akan mengkhotbahkan iman. Tak lama setelah pengalamannya dengan Boehler, hidup Wesley berubah, yaitu ia mengalami pertobatan Injili pada tanggal 24 Mei 1738. Pengalaman itu dicatat Wesley dalam Journal (catatan hariannya) sebagai berikut: “Senja itu dengan sangat enggan aku pergi ke sebuah persekutuan di jalan Alderstage. Di situ seseorang sedang membaca pengantar Luther kepada surat Roma. Kira-kira jam Sembilan kurang seperempat, sementara ia menguraikan perobahan yang Allah kerjakan di dalam hati melalui iman kepada Kristus, aku secara aneh merasa hatiku dihangatkan. Aku merasa betul-betul mempercayakan diri pada Kristus; Kristus saja, demi keselamatan; dan suatu jaminan diberikan kepadaku, bahwa ia telah menyingkirkan dosa-dosaku dan menyelamatkan aku dari hukum dosa dan maut.” menurut John, pada waktu manusia mengalami kelahiran kembali ‘kerak-kerak dosa’ masih tetap bersarang di dalam diri manusia dan itulah yang terus diperangi disepanjang hidup. Dengan ajaran ini gereja Metodis mengimbau orang beriman agar menaati perintah Allah, meninggalkan perbuatan dosa dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan (Ibr 12:14). Pengalaman ini menjadi titik balik di dalam kehidupan John Wesley, sekaligus menyadarkannya bahwa banyak orang di Inggris tidak memiliki iman dan kesucian. John mulai berkhotbah bersama-sama dengan adiknya, Charles. Ada seorang lagi yang menggabungkan diri kepada mereka yaitu George Whitefield (1714-1770), yang sudah bekerja selaku pengkhotbah di Amerika dengan banyak berkat dan hasil. Keadaan kerohanian di Inggris pada zaman itu sangat menyedihkan. Orang-orang kaya dan orang-orang terpelajar dipengaruhi oleh pencerahan, sehingga mereka menghina gereja. Orang-orang miskin pun dihina oleh gereja, yang tidak melayani mereka, sehingga mereka tidak tahu apa-apa tentang Injil. Pendeta-pendeta umumnya menikmati kehidupan yang baik. pencerahan telah berpengaruh besar. Sehingga banyak pendeta dalam khotbah memuji-muji keunggulan akal budi dan kemajuan yang dihasilkan ilmu pengetahuan. John Wesley seorang yang berbadan kuat. Selama 50 tahun ia berkeliling terus menerus untuk mengabarkan Injil di mana-mana. Khotbahnya berjumlah 40.000 buah. Mula-mula ia berkhotbah di gedung-gedung gereja. Banyak pendeta yang tidak suka pada perkataannya, karena dianggap terlalu kasar atau terlalu kuno, sehingga mereka tidak memberi izin kepadanya untuk memakai gedungnya. John Wesley terpaksa berbicara di tempat terbuka. Ia berkhotbah kepada siapa saja yang mau mendengar, “kuanggap seluruh dunia sebagai jemaatku. Maksudku adalah bahwa di bagian manapun aku berada, aku anggap benar, pantas, bahkan tugas yang diwajibkan kepadaku untuk menyatakan kepada siapa saja yang mau mendengar berita sukacita keselamatan.” Kadang-kadang terutama pada tahun-tahun awal, ia menghadapi permusuhan, termasuk dilempari dengan batu. Namun ia bertekun dan masih berkhotbah di udara terbuka pada usia 87 tahun tak lama sebelum dia meninggal. Hanya beberapa tempat saja di Inggris yang tidak dikunjungi oleh Wesley. Metode John dalam penginjilan yaitu berkhotbah dengan bahasa sederhana, seraya memakai banyak kiasan, perumpamaan dan cerita. Segala siksa di neraka digambarkan dengan nyata-nyata. Tiap-tiap khotbah diakhiri dengan seruan dan undangan kepada jemaat supaya bertobat pada ketika itu juga. Menurut Wesley, seorang Kristen sanggup mencapai kesempurnaan dalam pengudusan hidup oleh usahanya sendiri dengan bantuan roh Tuhan. Inilah ajaran “perfeksionisme” (perfek, Latin: sempurna). Jadi, teologi Wesley bercorak Arminian, ajarannya sebagai berikut: 1. Manusia jahat total sejak lahir, tetapi dengan pertolongan Allah dapat berbuat baik. 2. Allah memilih semua orang untuk diselamatkan, tetapi untuk dapat diselamatkan, seseorang harus meresponi pilihan Allah dengan iman. 3. Pendamaian Allah adalah untuk semua orang. 4. Manusia bisa menolak anugerah Allah dan manusia bisa murtad dan menolak Allah. Pandangan ini dilawan oleh Whitefield, yang mempunyai teologi Calvinis dan mendasarkan pertobatan serta kekudusan hidup itu pada Predestinasi. Perbedaan pendapat ini menyebabkan perpisahan antara pekerjaan Wesley dengan Whitefield (1741), tetapi mereka tetap bersahabat dan saling menghargai. Kebanyakan pengikut mereka mengikuti Wesley karena ia seorang pengatur yang amat cakap. John wesley tidak berniat untuk berpisah dari Anglikanisme. Sesungguhnya mereka ingin melihat pembaharuan berlangsung dari dalam gereja. Perpecahan itu berlangsung pelan, ketika pada tahun 1784 John mempersiapkan kelanjutan Metodisme setelah kematiaannya, adiknya Charles tidak menyetujui perpecahan itu. Gereja Metodis ini banyak menarik anggota keluar dari gereja resmi. Nama Metodis itu berasal dari nama sindiran “metodis” ketika di Oxford. Gereja Metodis ini berdasar pada pertobatan anggota-anggotanya yaitu pada perbuatan dan kehendak mereka sendiri, maka gereja itu diatur seperti suatu perhimpunan manusia belaka. Tiap-tiap anggota menerima sepucuk surat keanggotaan yang dibaharui sekali dalam tiap tiga bulan, jikalau anggota itu berkelakuan baik dan suci, tetapi apabila seseorang kalah dalam pemeriksaan rohani itu surat keanggotaannya dicabut. Sifat lain yang istimewa pada gereja Metodis ialah: di samping pendeta-pendeta yang telah dilatih untuk jabatannya, mereka mempunyai banyak pengkhotbah pembantu yang dipilih dari antara kaum awam. Masing-masing anggota gereja juga wajib turut menyiarkan Injil. Akibatnya ialah semangat orang-orong Metodis selalu sangat aktif dan gembira. Metodisme menempatkan Alkitab sebagai dasar ajaran iman satu-satunya. Mereka berpegang pada ajaran tentang Trinitas, keilahian Kristus, dosa universal, karya penebusan dosa oleh dan dalam Kristus. Metodisme juga menekankan Imamat am orang percaya, keselamatan hanya oleh iman dan pentingnya kesucian hidup serta pekerjaan roh kudus dalam hati orang-orang percaya. 2.3 Perkembangan gereja Metodis Organisasi ini berkembang dengan sangat mengagumkan di seluruh Inggris bahkan sampai di Irlandia (1747) dan di Skotlandia (1751). Gerakan Methodisme ini juga dibawa ke Amerika dan gerakan ini berkembang dengan pesat juga di sana. Untuk mengawasi pekerjaan Methodisme di Amerika, maka diangkatlah Dr. Thomas Hoke menjadi super intendent pada tahun 1784. Dalam pekerjaan penginjilan John Wesley menggerakkan pengkhotbah-pengkhotbah awam. Gereja Methodis Amerika membentuk sebuah lembaga pekabaran Injil Methodis Amerika (American Methodist Mission). Dalam bagian Amerika Utara yang berbahasa Inggris, lahirlah gerakan pembangunan semacam itu juga pada masa Metodisme muncul di Inggris. Permulaan abad ke-20 lembaga pekabaran Injil ini mulai bekerja di Sumatera dan di pulau Jawa serta Kalimantan Barat, khususnya di kalangan orang-orang Tionghoa. Kegiatan lembaga pekabaran Injil ini di pulau Jawa menghasilkan jemaat-jemaat: Mangga besar ( Jemaat Ketapang), Tanah Abang, Bogor, Rangkasbitung. Jemaat-jemaat ini kini menjadi jemaat gereja Kristus. Sejak tahun 1922 lembaga pekabaran Injil ini memusatkan dirinya di Sumatera. Sebagai hasil pekerjaan mereka di Sumatera, lahirlah Gereja Metodis Indonesia (GMI) yang berpusat di Medan dan menjadi salah satu anggota persekutuan gereja-gereja di Indonesia (PGI). Di Amerika Serikatlah Methodisme yang paling berkembang sampai kini. Sekarang ini gereja-gereja Metodis di Amerika mempunyai lebih dari delapan juta anggota. Teologia John Wesley ditandai dengan penekanan pada pendamaian Kristus yang universal. Mereka yang menerima Kristus akan diselamatkan dan mereka yang sungguh-sungguh mencari kesucian hidup akan disucikan dari dosa-dosanya. Ajaran Wesley dituangkan dalam karangan berjudul: Explanatory Notes Upon Testament and Standard Sermons, yang terdiri dari empat jilid. John Wesley meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Dalam perumusan pokok-pokok ajaran, gereja Metodis hampir sepenuhnya berpedoman pada karya-karya John Wesley. John Wesley sendiri baru memberi perhatian terhadap hal itu pada dasa-dasawarsa terakhir kehidupannya. Sebelumnya ia lebih banyak mencurahkan perhatian terhadap pembenahan perilaku umat Kristiani dan keterlibatan dalam pelayanan sosial, kendati dalam Journal yang ia tulis secara teratur sejak masa mudanya, ataupun dalam kumpulan khotbahnya yang tersimpan dengan rapi. Sehingga ditemukan banyak pemikiran dan perenungan yang mengandung gagasan khas khas Metodis. 1. Analisa Setelah penulis menguraikan latar belakang hidup dan pelayanan John Wesley, kita bisa tahu bagaimana kehidupan seorang John Wesley. Bagaimana pertemuannya dengan orang-orang Moravia yang membuat John sadar bahwa dia masih belum sepenuhnya mempunyai iman kepada Yesus Kristus. Sehingga dia terus menempa dirinya untuk memperoleh kesucian diri. Pertemuan itu membuat John bertobat. Ini menjadi teladan bagi setiap umat Kristen untuk saling mengingatkan satu dengan yang lain. Biarlah kita menjadi berkat bagi orang lain yang mampu mengarahkan orang lain untuk menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Dimulai dari diri kita menjadi teladan dan benar-benar percaya kepada Kristus, sehingga orang yang melihat kita dapat menyadari dirinya. Seperti John Wesley ketika bertemu dengan orang-orang Moravia itu, ia menyadari bahwa dirinya tidak mempunyai iman yang penuh kepada Yesus kristus. Semangat pelayanan John Wesley yang sangat luar biasa perlu kita contoh dan kita teladani. Dia tidak pernah putus asa dan mengenal lelah, ia terus berkhotbah kemana-mana untuk mengabarkan Injil, walaupun dia tidak diterima dan tidak disukai oleh pendeta-pendeta lain dan tidak dizinkan untuk khotbah di gereja, John berkeliling di tempat-tempat terbuka untuk memberitakan Injil. Begitu juga dengan kita sebagai hamba Tuhan untuk terus memberitakan firman Tuhan meskipun ada banyak tantangan dan masalah yang kita hadapi, supaya kita bisa menjadi berkat bagi sesama kita. Pertobatan John membuat ia mengalami kelahiran baru dan telah menemukan tujuan hidupnya, yakni untuk mengubah gerejanya dengan memberitakan kebenaran kitab suci ke seluruh wilayah Inggris. John sadar bahwa orang-orang di Inggris tidak memiliki iman dan kesucian sehingga ia berkhotbah bersama dengan adiknya, Charles Wesley dan sahabatnya , George Whitefield. Perjuangan dan kerja keras mereka menghasilkan sesuatu yang sangat mengagumkan yang dapat dirasakan oleh banyak orang yaitu berdirinya Gereja Metodis di bawah pimpinan John Wesley. 2. Kesimpulan John Wesley adalah seorang tokoh yang terkenal di zamannya sampai sekarang. Keberhasilannya tidak terlepas dari didikan keluarga terlebih-lebih ibunya yang banyak mempengaruhi kepribadiannya. Pertobatan John Wesley berawal dari perjumpaannya dengan orang-orang Moravia dan Peter Boehler. Dan pertobatannya memberikan hasil dan buah yang sangat mengagumkan yang dapat dirasakan oleh banyak orang sampai sekarang ini. Demikian pembahasan kehidupan dan pelayanan John Wesley yang memberi pedoman kepada kita dalam melakukan pelayanan dan dalam menjalani kehidupan ini kadang mengecewakan dan juga ada kebahagiaan. Daftar Pustaka 1. Aritonang, Jan Sihar, Garis Besar Sejarah Reformasi, Bandung: Jurnal Info Media, 2007. 2. Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2000. 3. H. Berkhof dan Enklaar, L.H., Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-GM, 2000. 4. Kenneth, Curtis A., 100 peristiwa penting dalam Sejarah Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2003. 5. Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK- GM, 2001. 6. Mecroskey, Robert D., Theologia Sistematis dari sudut pandang Wesley- Arminian, Jogyakarta: khabar kekudusan, 2004. 7. Shaw, Mark, Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja, Surabaya: Momentum, 2003. 8. Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM,2003. 9. Wellem, F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta:BPK-GM, 2004.





Merry Christmas

27 12 2011

Image

Banyak orang mengira bahwa batal hanyalah sebuah perayaan yang sifatnya hanya sebuah perayaan (party). Mereka tidak mengerti kalau makna Natal Lebih daripada itu.

Sebenarnya makan dari natal ini lebih pada makna mengosongkan diri untuk menyongsong ke datangan Kristus yang kedua kalinya.





Hello world!

27 12 2011

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.